Laman

pernah naik gunung?

Pernah naik gunung? Gunung yang benar-benar gunung tentunya, bukan bukit, apalagi cuma gundukan. Hehehe. Kalau pernah, dan sering, berarti Anda memang benar-benar petualang sejati InsyaAllah, dan saya salut kepada Anda. Kalau pernah, tapi baru satu kali, berarti mungkin Anda seperti saya, yang pada waktu pertama kali naik gunung, merasa kapok, ketika sampai di puncak senengnya bukan main, dan pas turun hingga sampai di rumah, rasanya ingin nyoba lagi. Ya, seperti makan lombok/sambal (cabai) rasanya. Walaupun kepedesan, tapi tetap ingin pakai cabai juga. Terakhir, bagi yang belum pernah naik gunung, saya sarankan untuk mencobanya!*)

Saya menyarankan untuk mencoba naik gunung (setidaknya sekali seumur hidup seperti saya) karena Insya Allah akan banyak sekali hikmah dan pengalaman yang bisa dipetik dalam petualangan Anda tersebut. Kepuasan, suka, dan duka, akan menjadi oleh-oleh yang bermanfaat bagi orang lain juga (bahkan kelak untuk diceritakan kepada anak dan cucu, hihihihihi).
Hikmah Perjalanan

Segalanya deh ada di sini. Sebelum naik gunung, saya seringkali memberikan motivasi, pengalaman, dsb (training) kepada orang-orang dekat saya. Materi penyemangat, materi kemandirian, materi leadership, materi ukhuwah, dsb pernah saya sampaikan. Jujur dalam penyampaian-penyampaian tersebut, saya merasa masih kurang memuaskan, karena nampaknya pengalaman saya selama ini masih belum ideal untuk bisa dijadikan contoh bagi orang lain. Dan memang benar, ketika naik gunung perdana, ternyata saya (dan kawan-kawan), kembali diuji segala-galanya.

Betapa tidak, perjalanan dengan kondisi yang sedemikian rupa (beban barang bawaan, jalan yang terjal, cuaca dingin gelap gulita, dsb) benar-benar menuntut semua peserta pendakian gunung ini untuk kuat fisik dan mental, bersemangat, dan kekompakan.

“Semua materi training ada di sana. Sehingga kalau kita ingin mengadakan training yang benar-benar training kehidupan, ajaklah orang untuk naik gunung!” pikir saya setelah sampai di rumah ketika pendakian perdana saya itu. Ya, materi-materi kemandirian, motivasi, leadership, ukhuwah, dsb benar-benar ada di sana. Akan nampak benar, siapa diri kita ini (Who Am I?), sejauh mana kemampuan kita untuk bisa bertahan hidup dengan beban-beban yang ada serta kondisi yang sedemikian rupa.

Belum lagi (dan nampaknya justru ini yang paling berat) adalah materi bagaimana bertahan hidup bersama orang lain, alias rekan-rekan perjalanan kita. Jujur, adalah hal yang tidak mudah bisa hidup bersama orang lain. Selain saling mengenal, diperlukan adanya rasa saling memerlukan-saling memahami (tafahum), dan saling merasakan suka duka masing-masing. Cukupkah? Tidak! Masih ada tingkatan ukhuwah persaudaraan yang lain, yaitu saling menolong (ta’awun) dan saling meringankan / menanggung beban (takaful). Cukup? Belum. Masih ada lagi, yaitu tingkatan paling tinggi, yaitu saling mendahulukan kepentingan saudaranya daripada kepentingan dirinya sendiri (itsar), menyayangi dan mencintai melebihi dirinya sendiri.

Dalam perjalanan tersebut akan nampak benar sifat asli pada diri kita dan rekan-rekan perjalanan kita. Siapa yang mempunyai sifat quitter, camper, dan climber (lihat catatan kaki tentang tipe-tipe pendaki gunung)? Siapa pelit, siapa egois? Siapa baik hati, siapa yang rela berkorban? Siapa sang motivator, siapa sang pemimpin ideal? Tiga tahun saya mengenal kawan-kawan perjalanan saya itu, namun baru kali itu saya benar-benar bisa mengenal siapa mereka. Alhamdulillah, ternyata Allah SWT telah memberi saya sahabat-sahabat yang memang tiada-duanya. Teladan 2007 gitu. Huehuehuehue (iklan).
Damai Bersama-NyaKeagungan Sang Pencipta (Foto by Luqman)

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuhan-tumbuhan yang baik? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. Dan kebanyakan mereka tidak Beriman.” (QS. 26 : 7-8)

Puncak hikmah yang bisa diambil dari perjalanan (pendakian gunung) tentu saja adalah merasakan keagungan Sang Pencipta, Allah SWT. Kita akan melihat bagaimana bumi (alam raya) terbentang luas, dengan segala keunikan isinya. Alam yang indah. Yang Menciptakan tentu saja jauh lebih indah. Subhanallah…

Semakin tinggi kita naik, justru kita akan merasa semakin kecil. Kecil sekali dan sehingga sampai akhirnya merasakan ketidakberdayaan dan tidak apa-apanya dibandingkan luasnya alam semesta ini.

Dan kalau diingat-ingat, sebenarnya hidup kita ini seperti naik gunung ini. Sebuah perjalanan yang panjang. Dimana puncaknya adalah apa yang kita cita-citakan dalam kehidupan kita dan rumah tempat kita pulang adalah kampung akhirat. Bagaimana bisa menjalani kehidupan ini dengan baik, dan kembali ke rumah dengan baik pula. Bersama-sama rekan perjalanan yang sangat panjang ini tentunya…

Pokoknya selama perjalanan hingga puncak, speechless dan priceless lah. Benar-benar, semuanya ada di sini. Allahu Akbar!

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Katakanlah: “Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. 30 : 41-42).

Epilog

Karena semua materi kehidupan menurut saya ada di sini, makanya saya sangat menyarankannya. Terutama bagi yang (ingin) menjadi trainer, wajib! Insya Allah materi, cerita-cerita, pengalaman, dsb akan lebih punya rasa kalau kita pernah mengadakan perjalanan pendakian gunung ini. Percaya deh. Kalau saya menamakan ini, adalah Training for Trainers, training untuk para trainer!*)

Kalau tidak ya, alternatif lain misalnya berkemah, outbond selama beberapa hari, dengan tempat terpencil, dan mendukung training survival. Tapi menurut saya, tetep naik gunung ini tidak ada duanya. Hehehe.

Tidak ada komentar: